Senin, Juli 13, 2009

Duri Aborsi Dan Homoseksual Janganlah Menusuk Elegansi Perjumpaan Obama Dengan The Panzer Cardinal Paus Benediktus XVI, VIVA IL PAPA !

U.S. President Barack Obama is seen during the G8 Summit, in ...

TULISAN UTAMA DI WWW.KATAKAMIINDONESIA.WORDPRESS.COM

Jakarta 6/7/2009 (KATAKAMI) Sehari setelah merayakan hari yang sangat istimewa bagi rakyat Amerika yaitu perayaan THE FOURTH OF JULY atau Hari Kemerdekaan AS setiap tanggal 4 Juli, Presiden Barack Hussein Obama didampingi “First Lady” Michelle Obama bertolak menuju Rusia.

Selanjutnya, Obama dijadwalkan menghadiri KTT G-8 di Roma, Italia. Saat berada di Italia itulah, Obama dijadwalkan bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Roma Paus Benedictus ke XVI. Inilah pertemuan pertama antara Bapa Suci (Sri) Paus dengan Obama.

Sungguh menarik mencermati pertemuan kedua tokoh penting ini. Mengapa ? Bapa Suci (Sri) Paus Benedictus ke-XVI adalah pribadi yang sangat keras — bahkan dalam tugas kerasulannya –. Tak heran, jika Bapa Suci (Sri) Paus pernah mendapatkan julukan “The Panzer Cardinal” atau Kardinal Panser.

Itu disebabkan karena keteguhan hati yang sangat keras dari Joseph Ratziner yang lahir di Jerman 82 tahun yang lalu ini dalam memegang dogma-dogma gereja yang memang mengagungkan nilai-nilai kudus Ilahi untuk dijalankan umat Allah.

Kardinal Joseph Ratzinger kelahiran Marktl am Inn, Bavaria, Jerman, Sabtu, 16 April 1927, terpilih sebagai Paus ke-265, pemimpin Gereja Katolik Roma, menggantikan Paus Yohanes Paulus II yang wafat pada 2 April 2005. Setelah terpilih Selasa 19 April 2005 yang ditandai mengepulnya asap putih dari cerobong Kapel Sistina di Basilika Santo Petrus, dia memilih nama Paus Benediktus XVI.

Nama kepausan itu akan disandangnya hingga akhir hayat. Joseph Ratzinger yang merupakan orang Jerman ke-8 yang menjadi Paus, akan memimpin 1,2 milyar umat Katolik di seluruh dunia. Ia sekaligus akan bertindak sebagai Kepala Negara Tahta Suci Vatikan, berkedudukan di Roma, Italia.

Ia adalah Paus tertua sepanjang 275 tahun terakhir setelah Paus Clement XII, yang di tahun 1730 terpilih sebagai Paus di usia yang sama 78 tahun.

Ratzinger merupakan Paus ke-8 yang berasal dari Jerman. Ia juga Paus ke-3 setelah Clement II dan Victor II yang berasal dari Jerman, menurut teritori Jerman yang dikenal sekarang. Karenanya ia adalah Paus terakhir yang berasal dari Germanic (gabungan Belanda dan Jerman), setelah Paus Adrian VI yang terpilih tahun 1522 (dan meninggal tahun 1523).

Sebagian pihak menilai Benediktus XVI sebagai seorang paus yang tradisional, sebagian lagi malah menyebutnya ortodoks. Sebagai misal, ia sangat kritis dan menolak perilaku hidup kaum homoseksual, perkawinan sesama gay, dan tindakan aborsi sebagaimana sikap sang pendahulu Paus Yohanes Paulus II.

Paus Benediktus XVI menguasai bahasa Jerman, Italia, Inggris, Latin dan Perancis. Sejak tahun 1992 ia adalah anggota French Academie. Ia tergolong piawai memainkan alat musik piano, sejak di seminari dan sangat menyukai musik Mozart dan Beethoven.

http://pewforum.org/newassets/images/transcripts/luispope/popeslarge.jpg

Diawal kepemimpinannya di Tahta Suci Vatikan, banyak pihak yang meragukan kemampuan Ratzinger untuk menandingi sikap “lentur” Paus Yohanes Paulus ke-2 dalam menjalon dialog dengan tokoh-tokoh antar lintas agama.

Ratzinger yang memang sangat amat kaku ini, ternyata bisa mematahkan keraguan itu. Sejak terpilih sebagai Paus April 2005, Ratzinger sudah dengan sangat maksimal menjaga “hubungan yang baik” Tahta Suci Vatikan dengan agama-agama lain.

Ia tak menutup terhadap isu-isu dunia yang “sensitif” serta perlu mendapat reaksi keras dari Tahta Suci Vatikan. Ratzinger mengecam keras semua bentuk aksi kekerasan atau peperangan — termasuk yang terjadi di Timur Tengah –.

Paus Benediktus ke-XVI ini juga mengecam dengan sangat keras semua bentuk aksi terorisme, termasuk mengecam cara-cara penyidikan dalam kasus terorisme yang menggunakan kekerasan.

Il Papa Benedictus XVI & President Obama

Disinilah letak daya tarik dari pertemuan antara Bapa Suci (Sri) Paus dengan Presiden Barack Hussein Obama.

Jika dilihat dari perbedaan usia yang sangat jauh jaraknya, pertemuan ini ibarat pertemuan antara seorang kakek dengan sang cucu. Ratzinger berusia 82 tahun dan Obama akan merayakan ulang tahunnya yang ke 48 pada tanggal 4 Agustus mendatang.

Tetapi jika dilihat dari sudut pandang “kenegaraan”, pertemuan kedua pemimpin ini tak mungkin dan mustahil untuk diletakkan dalam bingkai yang sangat melankolis.

Obama tentu masih mengingat dengan sangat baik, bagaimana dengan sangat tegasnya Bapa Suci (Sri) Paus Benediktus ke XVI menolak semua kandidat Duta Besar AS untuk Vatikan yang diajukan AS dalam era pemerintahan Obama.

Salah satu kandidat Dubes yang ditolak adalah Caroline Kennedy.

Penolakan yang bertubi-tubi itu, bukan karena Ratzinger anti AS. Tetapi, yang dipertahankan oleh Vatikan adalah “rule number one” bagi siapapun Dubes AS yang akan ditempatkan di Vatikan yaitu harus figur yang anti aborsi — baik itu dari Partai Demokrat atau Partai Republik –.

Vatikan tidak bisa mentolerir tindakan aborsi — sesuatu yang oleh pemerintahan Obama justru dilegalkan sebagai bagian dari hak kebebasan bagi kaum perempuan. Vatikan juga menentang dengan keras perilaku “homoseksual”, terutama menentang perkawinn sejenis. Sementara pemerintahan Obama justru bersikap sebaliknya.

Dua jurang pemisah yang sangat dalam dari kedua tokoh pemimpin yang sama-sama berkharisma ini ada pada kedua isu tadi yaitu aborsi dan perilaku homoseksual (termasuk didalamnya perkawinan sejenis).

Barack Obama

Disinilah dibutuhkan “kerendahan hati” dari Presiden Obama untuk tidak merasa tersinggung atas kerasnya Vatikan dalam menentang dua isu terkuat yang dalam pemerintahan Obama justru didukung sepenuhnya.

Bukan baru sekarang, Vatikan menolak secara tegas praktek aborsi dan perilaku homoseksual. Jika mengacu pada ajaran paling mendasar dalam injil maka kedua poin yang ditentang Vatikan itu, memang tidak senafas dan tidak sejalan dengan kehendak Tuhan.

Sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik di seluruh dunia, Ratzinger wajib — sangat wajib untuk menjaga ajaran atau dogma-dogma gereja — hingga akhir hayatnya.

Tanpa harus mempertajam perbedaan yang sangat prinsip dari kedua tokoh penting ini, pertemuan yang sangat “mendebarkan” pada tanggal 10 Juli nanti bisa dibuat menjadi lebih diplomatis.

http://downloads.unmultimedia.org/cms/radio/content/uploads/2007/10/full/stop-terrorism.jpg

Ada sebuah kesamaan pandangan yang mengalahkan tajamnya perbedaan antara Washington dan Vatikan. Kesamaan itu adalah sikap tegas Ratzinger yang menolak semua bentuk kekerasan demi mencapai perdamaian — termasuk didalamnya menolak semua bentuk unsur terorisme dan cara-cara penyidikan kasus terorisme yang menggunakan kekerasan (water boarding misalnya) –.

Jauh didalam hatinya, IL PAPA — panggilan sangat khusus dari umat Katolik di Italia kepada Paus — pasti mengetahui dan benar-benar menghargai perubahan besar dalam kebijakan pemerintahan Obama sebagai Presiden AS ke-44.

Keputusan Obama menutup penjara Guantanamo di Kuba, dilengkapi dengan dikeluarkannya larangan tegas yang bersifat resmi kepada seluruh penyidik AS yang menangani kasus-kasus terorisme di tahanan Guantanamo untuk menggunakan cara-cara kekerasan yang sangat amat tidak manusiawi dalam melakukan penyidikan kepada orang-orang yang “dituduh” sebagai teroris.

Bahasa diplomasi yang bisa digunakan Obama untuk menjadi jembatan masuk dalam membangun hubungan dua negara yang terjaga baik — walau terdapat perbedan sangat tajam pada isu lainnya — adalah kebijakan Obama menentang cara-cara kekerasan yang melanggar hukum, HAM & kemanusiaan dalam menangani terorisme itu.

Ketegasan Obama menentang cara-cara kekerasan dalam penyidikan kasus terorisme inilah, bisa ditempatkan di awal-awal perbincangan.

Kemudian, kesamaan yang sangat kuat lainnya adalah pentingnya menegakkan perdamaian yang sesungguhnya di Timur Tengah. Tidak berarti karena Paus Benediktus ke XVI adalah Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Roma maka ia akan “cincai-cincai saja” dengan cara-cara kekerasan di medan peperangan yang mengorbankan warga sipil sebagai korban jiwa.

Paus Benediktus ke XVI, sangat respek dan tertegun hatinya mendengar pidato Presiden Obama di CAIRO UNIVERSITY yang berjudul THE NEW BEGINNING yang disampaikan tanggal 4 Juni 2009.

Kesamaan nada antara Ratzinger dan Obama dalam memandang pentingnya merealisasikan segera perdamaian di Timur Tengah, juga akan berjasa betul membuat pertemuan mereka menjadi lebih selaras.

Ratzinger tentu punya kesan dan apresiasi yang sangat tinggi pada sosok pemimpin muda yang memenangkan Pemilihan Presiden (PILPRES) di AS bulan November 2008 lalu — jika dikaitkan dengan isu terorisme dan perdamaian Timur Tengah –.

Kunjungan Kenegaraan Presiden Obama ke Tahta Suci Vatikan ini hanya berselang 13 bulan setelah kunjugan Presiden AS sebelumnya yaitu George W. Bush.

Bush berkunjung ke Vatikan pada bulan Juni 2008 dan dua bulan sebelumnya yaitu April 2008 Bapa Suci (Sri) Paus yang berkunjung ke AS. Keunikan pribadi Ratzinger sangat jelas terlihat dari cara dirinya menerima kunjungan Presiden Bush tahun lalu.

Bush didemo oleh warga Italia karena kebijakan-kebijakan luar negeri kabinet Bush yang dinilai tidak manusiawi.

Walaupun Vatikan menempatkan posisinya dalam barisan yang menentang sangat kuat semua bentuk invasi aatau agresi militer AS ke sejumlah negara, Bapa Suci (Sri) Paus Benediktus ke XVI memperlakukan kunjungan Bush sangat baik dan penuh penghargaan.

Kunjungan resmi Bapa Suci (Sri) Paus ke AS yang dinilai mendapat sambutan yang begitu “meriah dan mengharukan”, membuat Tahta Suci Vatikan ingin memberikan sebuah balasan yang sama baiknya. Tidak ditunjukkan bagaimana keras dan galaknya sosok “The Panzer Cardinal” saat Presiden Bush berada di Vatikan.

Ratzinger tampil sebagai tuan rumah yang sangat elegan memperlakukan tamu kenegaraannya.

Itulah sebabnya, walau terdapat jurang yang dalam pada kebijakan-kebijakan tertentu antara Washington dan Vatikan yaitu pada isu aborsi dan homoseksual, kunjungan kenegaraan Presiden Obama pasti akan diperlakukan juga secara sangat baik — bahkan lebih baik dari cara Vatikan menerima kunjungan Presiden Bush.

Ratzinger sesungguhnya sangat menaruh perhatian dan ikut berbangga hati ketika AS mendapatkan pemimpin baru yang berusia muda dan penuh talenta dari Tuhan. Paus yang mengadopsi nama SANTO BENEDIKTUS (Subiaco) menjadi nama Kepausannya ini, langsung mengirimkan pesan pribadi yang sangat spesial saat Obama memenangkan PILPRES AS tahun 2008 lalu.

Secara pribadi, Obama didukung dan didoakan oleh Vatikan untuk dapat menjalankan tugas-tugasnya secara baik untuk mendatangkan nilai-nilai positif serta sangat berguna untuk rakyat AS dan warga dunia.

Dan ada satu kekhususan yang ikut mewarnai kunjungan kenegaraan Presiden Obama ke Tahta Suci Vatikan dalam beberapa hari mendatang.

Obama bertemu Ratzinger tepat sehari menjelang Perayaan Besar Gereja Katolik Sedunia memperingati SANTO BENEDIKTUS, Orang Kudus yang dipilih Ratzinger sebagai Nama Resmi Kepausannya (Pesta Santo Benediktus Abbas setiap tanggal 11 Juli, red).

Melekatnya nama Orang-Orang Kudus (Santo dan Santa) pada umat Katolik — apalagi setingkat Paus — bukan sekedar basa basi yang mau dijadikan sebagai asesori semata. Nama itu punya makna dan misi kerasulan yang khusus dari setiap umat yang menyandang nama Santo atau Santa yang dipilihnya.

Ini harus disadari oleh Presiden Obama bahwa ia akan bertemu dengan seorang pemimpin yang dihormati oleh seluruh umat katolik di muka bumi ini.

Bangunlah sebuah hubungan yang kokoh dan mendatangkan banyak manfaat bagi nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dengan landasan KASIH.

Semoga pertemuan itu sungguh menjadi sebuah pertemuan yang membanggakan. Seperti kebanggaan yang tulus keluar dari lubuk hati Ratzinger saat seorang pemimpin muda yang penuh talenta dari Tuhan keluar sebagai pemenang PILPRES AS.

Pemimpin muda yang penuh talenta itu akan segera berdiri dihadapan Paus Benediktus ke XVI.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMRCNJtAhrblzkpCdF-EC_LeFe9UDydtEp6w3TBjaS-60z-fJV5dY9RXcYqTF40bilv8rL7awQnQV7kjsxOtSXByGxgxw_A_sbVWgvyMlVrGiNjRv0fQ-mZxsudUkqkTh9SHFX_xhvVGCA/s320/viva+il+papa.jpg

Dan semoga Obama juga menyadari bagaimana kekhususan posisi Paus dimata seluruh Katolik di muka bumi ini. Sehingga, perbedaan yang memang sudah nyata-nyata menjadi jurang pemisah dalam hal kebijakan seputar aborsi dan homoseksual itu, jangan menjadi alat pemukul yang mematahkan semangat membangun hubungan diplomatik dan kerjasama bersinergi antara AS dan Vatikan.

Dan menutup tulisan ini, sebuah harapan yang menjadi ungkapan rutin dan pasti disampaikan seluruh umat Katolik di Italia — yang memanggil Paus dengan panggilan IL PAPA — jika ada perayaan hari khusus seputar kehidupan Paus, akan kami gunakan juga untuk ikut mendukung terciptanya hubungan yang lebih harmonis antara AS dan Vatikan.

VIVA IL PAPA !

(Long live the Pope).

(MS)