Jumat, Juli 17, 2009

Balada Mantan Eselon Dua Yang Salah Tuding Ke Muka Jaksa Agung

DIMUAT JUGA DI WWW.KATAKAMIINDONESIA.WORDPRESS.COM WWW.KATAKAMIINDONESIA.BLOGSPOT.COM

Jakarta  (DOKUMENTASI KHUSUS KATAKAMI YANG DIMUAT DESEMBER 2008)  Tampaknya, kali ini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar harus menanggung malu dan perlu menyampaikan permohonan maaf kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji. Mengapa demikian dan ada apa sebenarnya ? Hari Senin (1/12/2008), Antasari mantan pejabat eselon 2 di Kejaksaan Agung ini, berbicara emosional kepada wartawan untuk mengecam Hendarman terkait pernyataan Hendarman mengenai adanya perbedaan anggaran operasional di KPK dan Kejaksaan Agung bagi para Jaksa dalam menangani kasus-kasus korupsi.

Luar biasa, Antasari begitu “percaya diri” dan sangat berani mengecam pimpinan tertinggi dari sebuah Institusi sebesar Kejaksaan Agung. Ia tidak sadar, kecaman terbukanya itu salah sasaran dan berdampak buruk yaitu menjatuhkan martabat Hendarman dan Kejaksaan Agung secara institusi. Barangkali, ini dapat menjadi bahan perenungan bagi Antasari jika ke depan ingin “menghajar” institusi atau pimpinan instansi lain.

Tidak eloklah kalau sesama Pejabat Negara mau menjatuhkan Pejabat Negara yang lain dengan cara mengumumkannya terbuka dalam panggung pemberitaan nasional lewat media massa.

Justru, Antasari yang harus tahu diri bertanya kepada Jaksa Agung, apakah benar sudah mengucapkan hal ihwal tertentu yang mau digugat Antasari lewat panggung pemberitaan yang sangat luas.

Sehingga, kalau misalnya Antasari tahu diri untuk bertanya dulu, pasti tidak akan semalu sekarang. Sudah jumpa pers dan terang-terangan menyerang Jaksa Agung, ternyata salah serang.

Jadi, benarlah falsafah yang ada di tengah masyarakat yaitu “Jangan menuding orang lain dengan jari telunjukmu, sebab ketika jari telunjuk itu kau arahkan ke muka orang lain, empat jari yang lain menuding ke arah dirimu sendiri !”

Berikut ini kami muat dua berita yang dimuat Situs Berita Okezone dan Detik.COM, sebab kedua media online ini juga termasuk yang mendengarkan langsung jumpa pers Ketua KPK yang sangat “percaya diri” tadi.

Di Situs Okezone termuat berita KPK Protes Pernyataan Jaksa Agung (yang dimuat pukul 16.22 WIB) : 
<<<   “Kejaksaan bilang (anggarannya) hanya Rp20 juta, sementara KPK Rp300 juta, ini perlu saya luruskan saya tidak memahami pernyataan Jaksa Agung,” sergah Antasari. Menurut Antasari pihaknya telah mengkalkulasi biaya dalam penanganan sebuah kasus dan hasilnya tidak lebih dari Rp25 juta, bukan seperti yang diungkapkan Jaksa Agung bahwa KPK memiliki anggaran Rp300 juta per kasus.

“Setelah kami kalkulasi kurang lebih Rp25 juta per kasus,” ungkapnya. Dia menyesalkan sikap Hendarman Supandji yang mengeluarkan pernyataan tersebut tanpa konfirmasi terlebih dulu ke KPK. “Kenapa harus ngomong ke pers. Kami tidak menggunakan uang berlebihan. Sebaiknya Pak Jaksa Agung sebelum mengeluarkan pernyataan harus konfirmasi ke KPK dulu,” katanya. >>>

Demikian yang dimuat di Situs Okezone.

Sedangkan yang termuat di Situs Detik.Com pada pukul 16.19 WIB berjudul “Ketua KPK Sentil Jaksa Agung” isinya “
<<<  Ketua KPK Antasari Azhar meluruskan pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang menyebut KPK mendapat dana Rp 300 juta untuk menyelesaikan tiap kasus. Padahal jika dihitung, KPK hanya mengantongi Rp 25 juta.

“Setelah dihitung-hitung untuk 1 kasus hanya Rp 25 juta, tidak jauh berbeda dengan Kejaksaan. Saya mau meluruskan sebab kesannya jauh sekali antara Kejagung dan KPK. Jaksa Agung sebelum keluarkan statement konfirmasi dulu ke KPK supaya tidak rancu,” papar Antasari.

Hal ini disampaikan Antasari di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (1/12/2008).

Dikatakan dia, Jaksa Agung Hendarman Supandji membandingkan anggaran untuk menyelesaikan sebuah kasus antara Kejaksaan dengan KPK. Kejaksaan dapat Rp 20 juta per kasus dan KPK Rp 300 juta.  “Saya tidak memahami dapat informasi dari mana Kejaksaan,” katanya. >>>

Demikian isi dari pemberitaan di Situs Detik.Com.

Lalu, apa sebenarnya yang dipermasalahkan oleh Antasari sehingga ia begitu “percaya diri” hendak melumat Hendarman Supandji di hadapan para wartawan ? 

Hari Sabtu (29/11/2008) lalu, Jaksa Agung diundang untuk menjadi pembicara dalam Seminar yang diadakan almamaternya yaitu Universitas Diponegoro Semarang. Walau Undip adalah almamaternya sendiri, kehadiran Hendarman dalam Seminar itu adalah sebagai Pembicara Tamu. Panitia atau Tuan Rumah adalah Undip Semarang.

Seminar itu diikuti oleh para Jaksa di Jawa Tengah dan diadakan tertutup.

Tetapi, Panitia dari Universitas Diponegoro ternyata memperbolehkan wartawan untuk ikut mendengarkan materi pembicaraan yang disampaikan Hendarman. Barangkali karena materi pembicaraan dari Hendarman itu memang dinilai “menarik” oleh Pers, maka sebagian media memuatnya.

Termasuk KATAKAMI.COM ikut mengutip pernyataan tersebut dan merangkumnya ke dalam satu tulisan yang berjudul, “Jaksa Agung Tegaskan Urip Pemain Tunggal Tapi Di Kejaksaan Masih Ada “Jaksa Nakal” Lainnya.

Pada Seminar itu, salah seorang peserta yang kebetulan berprofesi sebagai seorang Jaksa bertanya kepada Hendarman terkait minimnya tingkat kesejahteraan para Jaksa.

Kami muat cuplikannya dari berita yang kami rangkum dari kehadiran Hendarman dalam Seminar di Undip Semarang :


<<<  Saat menjadi pembicara di Seminar tersebut, Hendarman “ditodong” dengan pertanyaan dari salah seorang peserta yang berprofesi sebagai Jaksa.

Jaksa ini menyatakan bahwa gaji jaksa masih sangat kecil yang hanya Rp 1,5 juta hingga Rp 1,9 juta.

“Gaji ini sangat kecil dan menjadi kendala dalam bekerja,” keluh jaksa itu kepada pimpinan tertingginya.

Hendarman menjawab bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun anggaran tambahan untuk para jaksa tersebut. Secara lisan permintaan tambahan anggaran ini sudah disampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. >>>

Demikian cuplikan dari berita yang dimuat sebelumnya di KATAKAMI.COM.

 

Sehingga, perlu disampaikan kepada Ketua KPK Antasari Azhar bahwa dirinya telah salah tuding.

Tidak pernah dan tidak benar jika Jaksa Agung sengaja mengundang wartawan dan sengaja membeberkan bahwa ada perbedaan anggaran antara KPK dan Kejaksaan Agung.

Apa yang disampaikan Jaksa Agung dalam seminar di Universitas Diponegoro Semarang itu adalah materi pembicaraan tertutup kepada lingkungan yang sangat terbatas dan rata-rata berprofesi sebagai Jaksa. Artinya, itu adalah pembicaraan “keluarga” dari seorang Bapak kepada anak-anaknya didalam keluarga besar “Kejaksaan”.

Ini urusan “rumah tangga” Kejaksaan yang membahas kabar dari luar bahwa ada kelebihan pendapatan yang diperoleh pada Jaksa yang bertugas di KPK. Pada kesempatan seminar itu, Hendarman baru berbicara kepada Pers setelah acara selesai.

Itupun mantan Jampidsus ini tidak pernah menjajakan dirinya atau menyodorkan bibirnya ke corong mic media pertelevisian agar “nampang” di televisi biar populer. Antasari salah besar.

Kasihan betul, sudah menjadi Ketua KPK tetapi tidak akurat dalam menyampaikan sesuatu yang terbuka kepada publik. Satu-satunya topik yang bersedia dijawab oleh Hendarman secara singkat saja adalah kasus Urip Tri Gunawan.

Sebab, sehari sebelum Hendarman muncul di Semarang itu, Pengadilan Tinggi Tipikor menguatkan putusan sebelumnya terkait vonis kepada Urip yaitu tetap mendapatkan pidana kurungan 20 tahun penjara.

Hendarman mengatakan bahwa dalam kasus suap Artyalita Suryani, Urip adalah pemain tunggal dan Pengadilan sudah memutuskan bahwa  tidak ada pejabat lain yang menerima bagian uang itu. Sehingga jangan heran, semua media massa memuat pernyataan Hendarman bahwa Urip adalah pemain tunggal.

Sementara kalau berbicara soal adanya anggaran berlebih dari para Jaksa yang kini bertugas di KPK, barangkali Antasari perlu mengendalikan anak buahnya di KPK.

Saat Hendarman mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR-RI bulan September 2008, ia sudah lebih dahulu kepada para Anggota Dewan yang terhormat diceritakan bahwa Jaksa-Jaksa yang kini bekerja di KPK sering datang ke Kejaksaan Agung. Mereka bercerita tentang berapa “isi kantong” yang mereka terima setelah bekerja di KPK. Dan cerita itu membuat moral dari para Jaksa di Kejaksaan Agung menjadi jatuh. Sebab para Jaksa di Kejaksaan Agung akhirnya menjadi tahu berapa pendapatan rekan-rekan mereka yang sekarang bertugas di KPK.

Jika ada yang sekarang balik bertanya, untuk maksud apa Jaksa-Jaksa di KPK sekonyong-konyong ada yang datang bertandang ke Kejaksaan Agung dan pamer tentang “tebalnya” kantong mereka sejak bekerja di KPK.

Apa itu maksudnya ?

Biasanya, apa saja rahasia dan segala sesuatu yang sifatnya tertutup di Kejaksaan Agung, Antasari ketahuan “menguping” dan cepat bereaksi.

Contoh soal, saat Jampidsus Marwan Effendy menjadi Pembicara dalam Pelatihan para Jaksa di Kejaksaan Agung. Dalam acara itu, kabarnya pada saat itu Marwan mengatakan bahwa jika terdapat cukup bukti yang kuat maka siapa saja bisa ditangkap di Indonesia ini dalam upaya penanganan korupsi. Misalnya, jika Ketua KPK itu terindikasi punya pelanggaran korupsi dan ada cukup bukti yang memang menguatkan, maka bisa ditangkap tetapi ini kan contoh, begitu kira-kira yang disampaikan Marwan.

Ternyata kabarnya, salah seorang peserta Pelatihan itu ada yang menjadi kerabat Antasari (semacam keponakan). Si Keponakan ini langsung  secara lancang “ember” kepada Antasari dan mengirimkan pesan singkat SMS.

Antasari yang saat itu dikabarkan sedang Umroh di Tanah Suci, bisa dengan sangat cepat memberikan reaksi yang sangat amat sinis yang kepada Marwan yaitu dengan mengirimkan SMS pada saat itu juga.

“Oh, jadi Pak Jampidsus sudah berani sekarang mau menangkap Ketua KPK ?”.

Kabarnya, Marwan sempat terkesima membaca SMS Antasari itu.

Mengapa bisa cepat sekali ada reaksi dari Antasari, padahal baru beberapa menit sebelumnya ia berbicara dan kabarnya Antasari sedang berada jauh di negeri seberang. Tetapi saat itu, dengan gamblang Marwan membalas SMS tersebut dan  menjelaskan isi pembicaraan yang disampaikannya dalam Pelatihan tersebut.

Di Kejaksaan Agung, sejak Antasari hengkang ke KPK, tidak ada satupun Pejabat yang tetap dijalin silahturahminya oleh Antasari, kecuali hanya Marwan Effendy. Tanpa ada penyebabnya, Antasari seakan menjauhi dan tak senang pada seluruh Jajaran Pimpinan Kejaksaan Agung.

Kepada saya, Antasari pernah mengeluhkan bahwa ia sakit hati karena saat ia alih tugas dari Kejaksaan Agung ke KPK, Pihak Kejaksaan Agung tidak membuat “Pesta Perpisahan” yang resmi.

Kesan yang saya tangkap adalah Antasari ingin mendapat pengakuan terbuka dari semua orang di Kejaksaan Agung bahwa ia berhasil menjadi Ketua KPK dan dijamu dalam “Farewell Party”. Ngambeknya Antasari hanya karena masalah sepele ini, ternyata bukan karena Kejaksaan Agung tidak mau membuatkannya.

Ketika Jaksa Agung Hendarman Supandji mengisyaratkan agar Kejaksaan Agung perlu membuatkan acara pelepasan bagi Antasari Azhar, secarik nota dinas masuk ke meja kerja Jaksa Agung dari jajaran Eselon I yang memberitahu acara itu sedang disiapkan dan akan dilaporkan jika semua telah siap.

Akibat  penuhnya jadwal kegiatan Kejaksaan Agung, acara perpisahan itu ditentukan pada awal Maret 2008. Memang benar, sepanjang bulan Januari-Februari lalu topik sorotan yang mengemuka adalah soal penyelesaian perkara dari Mantan Presiden Soeharto.

Dari mulai Pak Harto masih dirawat di RSPP Jakarta sampai akhirnya mantan penguasa Orde Baru itu wafat pada akhir bulan Januari 2008, kasus ini terus mendapat sorotan tajam di semua media massa.

Disaat Kejaksaan Agung sudah menyiapkan acara “Pelepasan” untuk Antasari, disaat yang bersamaan terjadilah peristiwa penangkapan Urip Tri Gunawan di rumah Artalyta Suryani (2/3/2008). Antasari buru-buru menolak dan membatalkan kebersediaan dirinya hadir dalam undangan Kejaksaan Agung.

Tetapi herannya, ia masih saja merasa sakit hati dan terus mengungkit bahwa Kejaksaan Agung tidak membuatkan Pesta Perpisahan kepada dirinya saat pindah ke KPK.

Kembali pada permasalahan tudingan Antasari kepada Hendarman bahwa Pimpinan Kejaksaan Agung seakan dituduh sudah sembarangan bicara kepada Pers, tanpa ada dasar-dasar yang kuat dan akhirnya mempermalukan KPK.

Namun sayang, kenyataannya justru Antasari yang salah sasaran, salah tuding dan salah tempat untuk “memamerkan” emosinya.

Kalimat dari Antasari yang berbunyi, “Lain kali Jaksa Agung itu kalau mau bicara, konfirmasi dulu ke KPK, supaya jangan salah kalau bicara dan agar tidak rancu”.

Ini kalimat yang sangat tidak santun dan tidak ada etikanya ! Sudah salah, sok galak pula, begitulah kira-kira istilahnya.

Saat berada di Semarang, sekali lagi, tidak ada satu patah katapun keluar dari mulut Hendarman Supandji kepada kalangan Pers tentang anggaran operasional Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi. Sekali lagi, tidak ada dan tidak pernah Hendarman mencari popularitas dengan dara mengumbar fitnah yang menjatuhkan lembaga lain.

Kasihan, Antasari sudah termakan oleh omongannya sendiri !

Setelah semua terjadi seperti sekarang, dimana dengan “percaya dirinya” Antasari mengatakan agar yang namanya Jaksa Agung itu konfirmasi dulu kepada KPK jika hendak bicara kepada Pers, apa yang mau dikatakan Antasari untuk menarik ucapannya sendiri ? Apakah ia bisa mengumpulkan lagi semua wartawan yang sudah memuat berita itu dan memberitakannya secara terbuka kepada seluruh masyarakat ?

Martabat dari Jaksa Agung dicemari dan dijatuhkan oleh Antasari lewat jumpa pers itu.

Jaksa Agung adalah tipe yang sangat berhati-hati kalau bicara dan ia selalu tahu kapan harus menyampaikan apapun kepada kalangan Pers. Ia tidak haus publikasi. Hendarman tidak pernah tersihir atau terbius oleh gegap gempitanya pemberitaan di semua media massa agar menjadi alat pendongkrak citra.

Minimnya anggaran yang diterima oleh seluruh “anak-anaknya” didalam Keluarga Besar Kejaksaan Se-Indonesia ini, membuat Hendarman harus berupaya maksimal sesuai aturan permainan yang ada di negara ini agar anggaran itu bisa bertambah. Saat ini, proses itu sedang berjalan dan itulah yang disampaikannya secara tertutup kepada para Peserta Seminar di Universitas Diponegoro Semarang.

Tentu Hendarman prihatin saat mendengar anak buahnya mengeluh betapa rendah gaji mereka sebagai Jaksa yaitu hanya Rp, 1,5 juta sebulan.

Hendarman yang kini sedang berusaha menaikkan anggaran bagi para Jaksa, juga ingin memberitahukan bahwa kalau usulan kenaikan anggaran itu disetujui maka itupun memerlukan waktu. Paling tidak, baru pada pertengahan tahun 2009 akan ada kenaikan anggaran seandainya Pemerintah bersedia menaikkan anggaran bagi para Jaksa.

Apa yang salah dari ucapan Hendarman kepada kalangan terbatas di Seminar itu ?

Tidak ada yang salah !

Seminar itu diikuti oleh semua Jaksa di kawasan Jawa Tengah. Bahwa misalnya, kalau Seminar itu boleh dihadiri semua Jaksa Se-Indonesia ini dan diberi tiket gratis misalnya, pasti semua Jaksa di Indonesia ini berbondong-bondong datang menemui Jaksa Agungnya untuk mengeluh dan meratap betapa sengsaranya hidup mereka.

Apa yang salah jika para Jaksa itu mengeluh kepada Pimpinan Tertinggi di Lingkungan Kejaksaan ?

Tidak ada yang salah !

Mereka mengeluh kepada orang yang tepat yaitu kepada “Bapak” mereka sendiri di Kejaksaan. Mereka ingin Hendarman tahu bahwa hidup mereka sengsara dan begitu kesulitan mengatasi tingginya biaya hidup di zaman sekarang. Sementara para Jaksa itu tidak diperbolehkan “ngobjek” atau cari uang masuk tambahan lewat cara-cara yang salah.

Dalam hal ini, yang perlu sekali lagi diingatkan kepada para Jaksa di KPK itu bahwa mereka harus tahu diri.

Mereka harus sangat mengendalikan mulut mereka yang gampang sekali bercerita tentang berapa pendapatan yang mereka terima semenjak bekerja di KPK. Jangan pernah lagi memamerkan besarnya pendapatan yang mereka dapatkan disana.

Semoga ini dapat membuat Antasari menjadi paham dan sepenuhnya sadar diri.

Bukan karena kami ingin mempermalukan tetapi materi keterangan pers dari Antasari pada hari Senin kemarin saat mengecam, menuding dan memprotes secara “sinis” kepada Jaksa Agung. Tapi ternyata salah kaprah dan salah alamat.

Sekali lagi, tidak pernah terjadi Jaksa Agung sengaja membeberkan pada Pers agar dimuat bahwa anggaran operasional penanganan kasus korupsi untuk Kejaksaan Agung jauh lebih kecil dari KPK.

Bahwa itu dimuat oleh Pers, jangan salahkan Hendarman.

Ia berbicara dalam forum Seminar di Universitas Diponegoro Semarang itu sebagai “tamu kehormatan”.

Ia diundang oleh Almamaternya sendiri. Ia datang dan berbicara kepada kalangan terbatas saja. Ia  tidak tahu kebijakan dari Panitia lokal yang memperbolehkan Pers ikut mendengarkan “isi” Seminar.

Dan Antasari sebaiknya belajar lebih santun dan elegan jika ingin mengkritik sesama Pimpinan dari lembaga lain yang sama-sama terhormat. Di Indonesia ini, umur KPK baru sekian tahun. Bukan cuma KPK, yang diberi kewenangan untuk melakukan upaya penegakan hukum.

Antasari harus belajar menghormati Pejabat Negara yang lain, apalagi Jaksa Agung kedudukannya berada langsung dibawah Presiden. Sebagai Pembantu Presiden, Hendarman tidak pernah tergelincir walau hanya satu kata dalam menyampaikan pernyataan publik. Ia sangat terukur dan terarah. Antasari harus belajar lebih santun, elegan dan sangat diplomatis penuh wibawa, jika satu saat ia ingin menyampaikan kritik. Dan perang terbuka lewat media massa, bukannya langkah yang baik.

Nasi sudah menjadi bubur.

Antasari sudah terlanjur “menyudutkan” Hendarman, tanpa mengerti bagaimana situasi dan duduk persoalan yang sebenarnya. Sebagai Pejabat Publik, hendaklah lebih tahu diri dalam memainkan peranan, menyampaikan keterangan dan mampu memberikan penghargaan kepada Pihak manapun antar Pejabat Penyelenggara Pemerintahan.

Setelah salah tuduh dan asal “ngecap” saja mengkritik terbuka lewat MEDIA MASSA, saya tidak yakin Antasari berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Jaksa Agung. Padahal dampak dari semuanya itu, seorang Pejabat Negara tersudutkan.

 Walau sekarang sudah menjadi Ketua KPK, Antasari harus sadar bahwa saat ini statusnya masih Jaksa yang aktif. Belum pensiun dan belum mengajukan permohonan pensiun dini.  Artinya, Hendarman adalah Pimpinan yang harus ia hormati dan hargai. Secara moral, ini harus dilakukan oleh semua Jaksa.

Dan sebagai Jaksa yang masih aktif, Antasari wajib untuk tetap datang ke Kejaksaan Agung menghadiri upacara atau undangan resmi apapun yang dilakukan Kejaksaan. Tidak ada kata tidak, ini wajib hukumnya bagi semua Jaksa yang masih aktif. Terutama menghadiri Upacara HUT Adhyaksa atau Ulang Tahun Kejaksaan setiap pertengahan bulan Juli.

Bulan Juli (2008) lalu, Antasari memutuskan untuk berada diluar negeri saja ketimbang menghadiri Upacara di Kejaksaan Agung. Setiap Upacara HUT Adhyaksa, Inspektur Upacara adalah Jaksa Agung. Dan semua peserta upacara, wajib memberikan hormatnya kepada Sang Irup yang berdiri penuh wibawa di Panggung Kehormatan.

Antasari tak cuma tercatat sebagai Jaksa aktif, sampai detik ini namanya pun masih tercantum sebagai Pengurus Persaja atau Persatuan Jaksa. Tugas utama dari Persaja adalah membantu Jaksa manapun di Indonesia ini yang menghadapi permasalahan hukum. Tapi apa yang terjadi ? Selama hampir setahun menjadi Ketua KPK, tidak pernah satu kalipun Antasari mau datang lagi ke Kejaksaan Agung menghadiri acara atau upacara apapun. Padahal itu wajib hukumnya.

Dan perlu disampaikan juga fakta ini kepada Para Jaksa atau Polisi yang saat ini bertugas di KPK. Sewaktu-waktu, mereka bisa ditarik tugasnya dari KPK. Begitu juga halnya, dengan Aparat Polri yang sedang dialih-tugaskan di KPK.

Berdasarkan aturan perundang-undangan, ada batas waktu maksimal terhadap penugasan itu. Tidak ada hak dari KPK (entah itu Pejabat KPK dari unsur Kejaksaan atau Polri), setiap bawahan mereka yang berasal dari unsur Kejaksaan dan Polri, semuanya memiliki induk organisasi yang berwenang sepenuhnya mengatur rotasi dan segala permutasian.

Dan Pemerintah juga perlu memikirkan dan mendalami wacana pembubaran KPK secara bertahap. Tidak ada didunia ini, Kejaksaan yang mendua. Tidak Kepolisian didunia ini yang mendua. Dualisme kepemimpinan itu, sangat tidak lazim dan patut untuk segera dilebur kembali ke dalam organisasi mereka masing-masing.

Walau alasan pembentukan KPK karena Kejaksaan dan Polri dianggap tidak mampu memberantas korupsi, tetapi jangan karena kekurang-mampuan itu maka Negara mengizinkan terjadinya dualisme. Seakan ada standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi. Jaksa dan Polisi yang dialih-tugaskan ke KPK berpotensi menjadi “anak durhaka” yang menolak kembali ke induk organisasinya karena di KPK sudah “nyaman” dengan pendapatan yang sangat amat besar.

Kita bisa cermati salah satu contohnya baru-baru ini, bagaimana sewotnya KPK saat dua orang Perwira Polri ditarik oleh Mabes Polri untuk mendapat tugas baru.

Hak apa KPK marah ?

Tidak ada hak untuk marah pada Polri. Keterlaluan jika merasa hebat sudah bisa membentuk SDM tertentu menjadi penyidik korupsi, sehingga ketika induk organisasi memanggil pulang maka KPK memprotes keras.

Presiden SBY, Wakil Presiden, Kabinet Indonesia Bersatu, DPR dan semua pihak perlu merumuskan kembali, jalan keluar terbaik yang berujung pada pembubaran KPK. Jangan ada lagi Jaksa di atas Jaksa atau Polisi diatas Polisi.

Dan, sekali lagi, siapapun yang saat ini masih tercatat sebagai Jaksa aktif, hendaklah mereka sadar diri dan tahu menempatkan diri masing-masing.

Mau tidak mau, harus mau bahwa semua Jaksa di Indonesia ini memang wajib menghormati Pimpinan tertinggi di Kejaksaan. Jangan ada yang arogan dan menjadi sangat tidak tahu diri. Walau Hendarman tidak gila hormat, tetapi faktanya adalah ia Pimpinan Tertinggi di Kejaksaan.

Marilah juga saling menghargai, apalagi antar Pejabat Negara.

Antasari harusnya malu, tidak pernah diusik oleh Hendarman.  Antasari juga harusnya ingat bahwa yang mengusulkan dan mengizinkan ia “melamar” ikut seleksi masuk KPK, adalah Hendarman Supandji.

Ia harus ingat, bahwa saat ia terpilih sebagai Ketua KPK dulu (Desember 2007), semua orang mencaci maki Antasari karena ia dinilai tidak layak memimpin KPK. Alasannya, begitu banyak kasus-kasus korupsi yang dituduhkan kepada Antasari semasa ia bertugas di Kejaksaan Agung. Tetapi saat itu, Hendarman pasang badan dan tetap mengamankan sang anak buah dari jajaran eselon 2 ini agar aman menduduki kursi barunya sebagai Ketua KPK.

Antasari jangan lupa, bahwa saat semua orang mencaci maki dirinya sebagai “koruptor kotor” yang tidak layak jadi Ketua KPK, Jajaran Intelijen Kejaksaan Agung mengamankan ia untuk lancar mengikuti proses Fit And Proper Test.

Masih ingatkah Antasari, bahwa Intel Intel Kejaksaan Agung yang terpaksa mengutip, mencabut dan melepaskan begitu banyak spanduk, poster dan pamflet-pamflet yang dipasangi di berbagai sudut jalan dan Gedung DPR-RI saat Antasari hendak menjalani Fit And Proper Test ?

Semua spanduk, poster dan pamflet itu isinya adalah caci maki yang sangat kotor dan sadis terhadap Antasari Azhar. Semua pihak mengingat dan menuntut agar Antasari diseret ke Pengadilan. Kejaksaan Agung mendapat hantaman keras dan bertubi-tubi saat mengajukan nama Antasari untuk masuk ke KPK.

Dan Hendarman termasuk yang terkena hantaman keras dari mana-mana.

Antasari tidak tahu bahwa secara pribadi Hendarman pernah “memberikan jalan” kepada Pemimpin Redaksi KATAKAMI Mega Simarmata(yang saat itu masih bergabung di Portal Berita INILAH.COM) sebagai seorang jurnalis agar melakukan wawancara eksklusif dengan Antasari disela-sela Rapat Kerja Khusus Kejaksaan di Cianjur (Jawa Barat) pada pertengahan Desember 2007.

Ketika itu, Antasari sudah terpilih sebagai Ketua KPK tetapi hantaman publik sangat keras disemua media massa atas terpilihnya Antasari.

Wawancara eksklusif itu diharapkan bisa “menetralisir caci maki yang sangat menyakitkan hati Kejaksaan Agung akibat “pasang badan” untuk Antasari. Hendarman sampai harus memerintahkan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Thomson Siagian, untuk menjemput Antasari dari kamar hotelnya dan didampingi selama menjalani wawancara eksklusif.

Ketika itu, Hendarman sangat terbeban oleh kuatnya gempuran dari semua pihak yang membuka semua rekam jejak Antasari dinilai “kotor dan korup” sepanjang bertugas di Kejaksaan.

Jika tidak diimbangi maka pemberitaan yang negatif mengenai Antasari akan melahap habis martabat Antasari dan Kejaksaan Agung. Dan memang, wawancara eksklusif itu setidaknya bisa meredam sebagian tekanan dan menaikkan pamor Antasari. (Hasil wawancara eksklusif tersebut terlampir di bagian penutup tulisan ini, red).

Dan sekarang kalau misalnya ditanyakan, apakah dengan tertangkapnya satu orang oknum saja yang bernama Urip Tri Gunawan karena kasus suap sebesar USD 660 ribu, maka dapat menghapuskan semua rekam jejak dan memori buruk banyak orang terhadap figur Antasari ?

Belum tentu !

Jangan sakiti perasaan orang-orang yang sudah berjasa kepada diri kita secara tulus iklas. Jangan merasa bahwa kita mendadak menjadi jauh lebih hebat dari siapapun dimuka bumi ini.

Hendarman begitu menghargai Antasari, bekas anak buahnya yang cuma dari level Eselon II ini. Tapi, Hendarman bisa dengan sangat elegan memberikan penghargaan dan kerjasama yang baik. Padahal kalau mau sombong, ia bisa saja pongah.

Kalau dalam urusan kepangkatan di TNI dan Polri misalnya, pejabat eselon II itu setara dengan perwira menengah Kombes atau Kolonel. Tetapi begitu Antasari menjadi Ketua KPK, maka pangkatnya menjadi setara dengan Jenderal bintang 4. Bayangkan, betapa jauhnya perbedaan pangkat itu tetapi sejak pertama terpilih, Hendarman memberikan penghargaan yang tinggi kepada Antasari.

Namun sayang, Antasari begitu kesulitan untuk menyadari dan merasakan bahwa dirinya dihargai.

Merujuk pada ilmu padi, harusnya kalau memang memiliki isi maka sang padi biasanya selalu “merunduk” Bukan mendongak atau menggelegar bicaranya untuk menghardik Pihak lain yang tidak bersalah.

Silahkan diproses secara hukum, siapapun oknum Jaksa yang memang melakukan perbuatan melawan hukum !

Dan kalau mau tegas dan berkeadilan dalam menegakkan hukum, sebenarnya perlu juga diproses jika memang ada indikasi terjadi dugaan “penyuapan” di lingkungan Kejaksaan. Sebab, misalnya saja tentang adanya laporan masyarakat bahwa ada dugaan penyuapan dari oknum yang hendak meraih jabatan lain diluar Kejaksaan Agung di penghujung tahun 2007.

Nah, setelah heboh dengan kasus Urip, bisa jadi Kejaksaan Agung harus heboh lagi karena oknum Jaksa yang berikutnya bisa-bisa terkena peraturan memakai seragam koruptor.

Apa boleh buat jika memang sampai itu harus terjadi karena tidak ada jaminan bahwa bisa dipakai oleh oknum Jaksa itu, karena diam-diam ada yang sebenarnya jauh lebih parah kelakuannya dibanding Urip.

Belum saja rahasia itu terungkap, tetapi kalau tiba-tiba bisa terungkap ?

Bagus dong.

Kembali pada masalah Antasari yang salah memprotes dan salah menuding muka Jaksa Agung yang nyata-nyata tidak bersalah, sadarilah bahwa yang salah itu memang salah.

Jadi sampaikanlah maaf yang tulus kepada senior dan “abang” yang tidak bersalah itu tapi sudah terlanjur dipermalukan !

(MS)

WAWANCARA EKSKLUSIF
Antasari Azhar  : Silent is Golden
(Dimuat di INILAH.COM 14 Desember 2007)
Mega Simarmata
 

INNChannels, Jakarta ?Segera setelah namanya ditetapkan sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hujan komentar dari berbagai pihak kontan mengungkungi keseharian Antasari Azhar. Hampir semua komentar itu bernada sama: skeptis dengan terpilihnya Antasari. Sinisme dan pesimisme menyertai ayunan langkah Antasari yang akan dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Selasa (18/12).

Padahal, di hadapannya, telah menunggu seabrek tugas berat, sensitif, pelik, dan penuh risiko. "Silent is golden," tukasnya ketika disinggung soal reaksi banyak pihak atas jabatan barunya. Selebihnya, Direktur Penuntutan pada Jampidum Kejaksaan Agung itu menjawab serangkaian pertanyaan INNChannels dalam wawancara khusus, Jumat (14/12) di sela penutupan Raker Kejaksaan Tinggi se-Indonesia di Cianjur, Jawa Barat. Berikut petikannya:

Belakangan Anda jadi sangat terkenal. Dari semua sudut datang serangan. Dihujat sana sini. Apakah moril seorang Antasari Azhar tetap terjaga baik dalam mengemban tugas mulia sebagai Ketua KPK?

Ohh, masih, Alhamdulilah. Saya tidak terganggu dengan situasi seperti itu. Sepanjang perjalanan karir saya sebagai jaksa, berbagai tekanan pernah saya alami. Sebagai manusia, kita harus dengan lapang dada mengambil sisi positif dan maknanya. Ini sebuah kritikan dan keraguan. Buat saya, kritikan dan keragu-raguan dari pihak tertentu semacam ini justru menjadi penyemangat dalam menjalani tugas. Saya tidak akan pernah mau membalas kritikan-kritikan pedas. Saya tidak akan mengeluarkan kritikan yg sama pedasnya.

Mengapa Anda diam saja, sementara ada pihak yang bisa jadi ingin melakukan pembunuhan karakter? Bukankah kemungkinannya hanya dua, yaitu semua tudingan itu benar atau karena Anda justru sedang menunggu situasinya reda dan menyadari bahwa diam itu emas, silent is golden?

Saya memilih yang kedua karena memang itulah yang terjadi. Saya diam, tapi sebenarnya saya mencermati situasi yang berkembang. Betul sekali, diam itu emas. Diam bukan berarti mengiyakan semua tudingan negatif. Saya tahu diri. Saya baru saja terpilih di parlemen. Tuduhan-tuduhan itu sudah saya klarifikasi dalam tiga momen. Momen fit profelasi lembaga independen, saya klarifikasi. Mohon temui pihak-pihak bersangkutan untuk mengecek kebenarannya. Dari sejumlah kandidat, saya terus lolos. Ketika jumlah kandidat tinggal 26, panitia seleksi mengajukan pertanyaan yang sama. Ya, saya klarifikasikan lagi.

Soal apa yang bolak-balik ditanyakan dan dipermasalahkan?

Saya dibilang lambat mengeksekusi Tommy Soeharto. Terus lambat menangani kasus Bupati Kepulauan Riau Hoezrin Hood. Pernah menerima suap Rp 3 miliar dari Bupati Konawe di Kendari, Sulawesi Tenggara. Itu yang terus ditanyakan.

Oke, soal Tommy Soeharto, sejujur-jujurnya apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah ada kesengajaan Anda waktu itu memperlambat eksekusi Tommy?

Saat kejadian itu, kenapa tidak ada yang meributkan. Saya yang membawa dan mengeksekusi Tommy ke Cipinang. Dokumentasi pers tentu masih ada. Terutama dari media elektronik. Bisa dicek. Silakan dibuka filenya.

Soal Hoezrin Hood bagaimana?

Saya pikir inilah lid (penyelidikan -Red) tercepat dari Kejaksaan. Penyelidikannya hanya sepekan. Saya turun bawa anggota. Ketika itu, saya bertugas sebagai Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Riau. Atas perintah Jaksa Tinggi, saya turun bawa dua asisten dan dua orang Kasie. Saya tunggu penyelidikan. Pulang ke sana kami lakukan penyidikan pemberkasan. Dua bulan sidang. Nah, di mana letak keterlambatannya?

Lalu, bagaimana pula soal dugaan suap dari Bupati Konawe?

Itu fitnah. Kapan saya ketemu dia? Waktu perkara itu dipaparkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri, saya lihat sudah cukup bukti. Talikan jadi penyidikan. Nah, ketika berjalan persiapan pelimpahan ke pengadilan, saya justru pindah ke Sumatera Barat. Tapi, persidangan terus berjalan.

Kalau memang ketiga kasus itu yang diributkan, apakah Anda memang memperkaya diri sendiri dengan menerima suap dari mereka?

Sudah saya laporkan angka kekayaan saya pada 2001 dan 2007 ini saat saya mengikuti proses pemilihan di KPK. Pada 2001, kekayaan saya hampir mendekati Rp. 1 miliar. Ini yang sering menimbulkan kesalahan persepsi. Kita lapor itu bukan harga waktu kita membeli, tapi harga saat kita melaporkan kekayaan itu. Nah, di 2007 ini, angka kekayaan saya semuanya Rp. 3 miliar. Ada kenaikan Rp 2 miliar. Tapi, saya bisa mempertanggungjawabkan kenaikan itu.

Oke, jelaskan saja di sini. Dari mana Anda mendapatkan penambahan Rp 2 miliar itu? Apakah Anda menerima suap atau punya deposito tertentu?

Saya tidak pakai kartu kredit. Saya sama sekali tidak punya deposito. Tambahan Rp. 2 miliar berasal dari pihak istri saya. Istri saya adalah putri tunggal. Anak saya adalah cucu tertua dari mertua saya. Ketika ibu mertua saya sakit-sakitan dan menjelang meninggal dunia, beliau sudah berpesan kepada saya, beliau punya ini dan itu, tolong diurus. Di daerah Duren Tiga ada rumah. Ibu mertua ingin rumah itu untuk kedua putri saya agar tidak terhambat kuliah mereka. Begitu ibu mertua saya meninggal, sesuai amanah almarhumah, istri saya menujual rumah itu dan laku Rp. 2,5 miliar. Dengan menggunakan uang itu, kami beli satu lagi rumah di BSD 3. Tidak jauh dari rumah kami. Tapi, ada yang menyebut saya punya rumah di Pondok Indah. Saya justru heran. Sebab, saya memang tidak pernah punya dan tidak pernah membeli rumah di kawasan mewah seperti Pondok Indah. Rumah saya di BSD. Walaupun ini kekayaan istri, daftarnya kan masuk ke daftar kekayaan saya juga. Padahal, itu merupakan hak dari istri dan kedua anak saya.

Artinya, hanya ketiga kasus itu yang dipermasalahkan?

Selama proses pemilihan di KPK ini, ya, tiga kasus itu yang dipermasalahkan. Bahkan, di DPR, ada tambahan dua kasus lagi yang dipermasalahkan, yaitu kasus menghilangkan tersangka di Lampung yang terjadi 12 tahun lalu. Kemudian?

Kasus apa yang di Lampung? Bisa dijelaskan?

Ini error in persona. Panjang ceritanya. Tapi, dengan dimunculkannya isu ini, ketahuan sekali kesengajaan melakukan pembunuhan karakter terhadap diri saya. Ketika itu, justru saya yang diperintah untuk menindak jaksa yang nakal itu. Lho, kok saya yang dituduh menghilangkan.

Oke, kasus satu lagi yang dipermasalahkan soal apa?

Kasus Aerowisata. Saya dituduh menjual barang bukti kasus Aerowisata. Justru saya jugalah yang menangkap tangan dari perbuatan jaksa ini. Saya laporkan kepada pimpinan. Mereka diperiksa dan terkena PP 30. Salah seorang di antara mereka meninggal dunia. Bukan saya penyidiknya. Waktu itu saya justru menggantikan Kasubdit Penyidikan di Pidana Khusus. Saya gantikan karena teman itu mendapat promosi. Saya teliti kok ada perkara ini? Mengapa tidak dilimpahkan ke Penuntutan? Panggil jaksanya! Maka, dipanggillah jaksanya. Biasanya, kita melimpahkan penuntutan itu kalau sudah ada berkas, tersangka, dan barang bukti. Nah, dalam kasus ini berkas ada, tersangka ada, tapi kok barang bukti tidak ada? Akhirnya saya hentikan dulu, periksa kembali, dan terbukti. Tapi, dalam laporan itu, kok malah saya yang melaporkan menghilangkan barang bukti.

Citra yang berkembang sekarang, ada Ketua KPK baru dihujat ramai-ramai. Seakan Antasari Azhar tidak punya kredibilitas, integritas, dan kapabilitas. Tapi, kalau digunakan logika terbalik, dengan adanya Ketua KPK dari Korps Kejaksaan, sepertinya ada pihak tertentu yang merasa tidak nyaman dan terancam dengan posisi baru Anda sebagai Ketua KPK. Apa komentar Anda?

Tidak ada kata lain dari diri saya kecuali saya akan melaksanakan tugas baru saya dengan sebaik-baiknya. Saya ini bukan politikus. Saya ini aparat penegak hukum. Jadi, fakta dianalisis, ada peristiwa pidana, cukup alat bukti, maju! Saya kira jaksa atau polisi manapun, jika terus menjaga profesionalitas mereka, akan mengatakan hal ini juga. Sebaliknya, jangan nanti dalam tugas saya di KPK saya diberikan suatu fakta, tapi setelah diteliti tidak ada bukti dan saya dipaksa tetap mengusut. Maaf, saya harus tetap profesional. Selama ini orang lebih menghargai tindakan pemberantasan korupsi yang represif.

Maksudnya?

Pemberantasan korupsi itu punya dua sisi, yaitu represif dan preventif. Ini akan saya lakukan nanti. Obsesi saya sebagai Ketua KPK, menangkap ribuan orang kalau memang ada faktanya, kenapa tidak? Tapi, sasarannya adalah bagaimana caranya agar kita bisa meminalisasi kebocoran keuangan negara. Kemudian keuangan itu efektif bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat. Makanya, perspektif saya adalah pemberantasan korupsi dalam perspektif pertumbuhan ekonomi (kesejahteraan dan kepentingan masyarakat -Red).

Hujatan dan kritikan yang bertubi-tubi setelah Anda terpilih sebagai Ketua KPK yang baru, sebenarnya menjadi beban tersendiri bagi Korps Kejaksaan. Seakan-akan nama Kejaksaan jadi buruk sekali. Itu bisa menjatuhkan moril insan Adhiyaksa. Padahal, justru kepercayaan ini kebanggaan. Ada Jaksa mendapat tugas baru dan mulia. Anda prihatin?

Proses pemilihan di KPK membutuhkan waktu enam bulan. Bukan asal tunjuk. Dari 661 pelamar, dilakukan seleksi administrasi, lolos 500 orang. Calon pelamar diperintahkan membuat makalah dan makalah itu diperiksa tim independen. Lolos lagi 200 orang. Dari 200 itu, berlanjut ke proses psikotes. Juga ada perangkat penyeleksian lainnya. Saya lolos sampai tahap 26 orang. Kemudian, dari 26 orang itu, harus ada fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan -Red) oleh panitia seleksi. Proses ini dapat disaksikan masyarakat umum melalui layar monitor. Nah, saya lolos masuk ke 10 besar. Ke 10 orang ini diperintahkan membuat investigasi lapangan. Saya buat. Kemudian, ada juga yang menginvestigasi harta kekayaan saya. Saya lolos ke dalam 5 besar. Begitulah urut-urutannya.

Dari proses seleksi selama enam bulan itu, apakah Anda menggunakan politik uang, menyuap pihak tertentu agar Anda lolos seleksi?

Tidak ada sama sekali. Proses penerimaan dari 26 orang menjadi 10 orang dilakukan tim independen. Saya mengikuti semua itu berdasarkan kompetensi. Jika memang saya dipercaya dengan latar belakang diri saya seperti ini, silakan. Yang jelas, sejak awal saya memang sudah bersiap-siap, jika masuk ke area lembaga politik pasti akan ada yang dipolitisasi.

Mungkinkah Kejaksaan Agung yang 'bermain' untuk mengamankan Anda agar bisa terpilih?

Saya tidak punya tim sukses. Saya tiap hari di kantor. Selama mengikuti proses ini, saya tetap di kantor. Kecuali kalau ada tugas luar. Jadi, kalaupun disebut ada tim sukses, mereka adalah pegawai saya yang membantu saya menyelesaikan tugas-tugas saya yang sekarang. Dukungan yang saya terima dari korps saya sebatas dukungan moril. Artinya, lakukanlah yang terbaik karena tampilnya Antasari Azhar dalam proses pemilihan Ketua dan Anggota KPK yang baru, orang akan melihat korps saya, yaitu Kejaksaan. Saya sudah mengabdi 25 tahun pada Korps Kejaksaan. Apakah mungkin saya berani atau mau mempermalukan korps saya sendiri? Tidak. Saya tidak akan pernah mempermalukan korps saya sendiri.

Apa komitmen Anda sebagai Ketua KPK yang baru?

Dengan mengucapkan Bismillah, saya akan melakukan yang terbaik dalam tugas saya yang baru, dengan kewenangan yang ada di KPK.

Jangan sampai terjadi, karena Anda berasal dari Kejaksan, dalam tugas-tugas di KPK ke depan kerja sama optimal dan harmonis hanya akan dilakukan dengan Pihak Kejaksaan. Bukan begitu?

Wah, tidak begitu. KPK harus selalu melakukan koordinasi dan supervisi dengan Kejaksaan dan kepolisian. Peningkatan untuk pengawasan, misalnya dari Irjen, Bawasda, dan lainnya. Pimpinan KPK itu kan kolektif. Setiap keputusan diambil secara kolektif. Apapun langkah dan target KPK, itu tergantung pada keputusan kolektif walau nanti saya yang memimpin.

Ada yang khawatir kerja sama Anda dengan Kejaksaan jauh lebih baik ketimbang kerja sama dengan kepolisian. Komentar Anda?

Tidak, tidak ? tidak akan seperti itu! Kepolisian itu mitra kami selama ini. Jiwanya UU 30 seperti itu. Kecuali kalau diubah. Tidak bisa saya melakukan sesuatu di luar undang-undang.

Ini berarti Anda menjanjikan prestasi terbaik sebagai Ketua KPK yang baru ya?

Tidak ada keraguan sedikitpun di dalam diri saya untuk melakukan pemberantasan korupsi. Dari sisi penegakan hukum dan langkah-langkah hukum, tidak sedikitpun ada keraguan selama fakta itu didukung alat bukti dan sesuai dengan Hukum Acara.

Bagaimana dengan dukungan keluarga?

Keluarga memberikan dukungan dan doa agar saya bisa bertugas dengan baik. Dan, terpenting, saya ini umat beragama dan segala sesuatu harus dimulai dengan Bismillah. Saya harus melakukan tugas mulia ini dengan iklas dan sayapun harus senantiasa berada dan berjalan di jalan Allah. Percayalah, Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita. Kita ini umat-Nya. Tuhan tidak akan memberikan beban yang lebih tinggi kepada umat-Nya. Itu pegangan saya dalam melangkah.

Anda berasal dari keluarga besar ya?

(Tertawa -Red). Ya, saya ini anak ke-4 dari 15 bersaudara. Saya lahir di daerah Bangka Belitung. Ketika saya tamat SD, sangat kuat keinginan saya merantau. Ayah saya pegawai negeri, bekerja di kantor pajak. Keuangan terbatas. Ibu saya mengatakan, boleh saja merantau, tapi selesaikan dulu khatam Al Qu'ran. Maka, waktu itu saya khatam Al Ou'ran, dan saat mau masuk SMP, saya merantau ke Jakarta. Sendirian saya merantau sampai kuliah. Waktu SMP, saya sempat jadi loper koran untuk menambah uang saku.

Di mana Anda jadi loper koran?

(Tertawa -Red). Waktu itu saya loper koran Berita Yudha di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Saya menunggu di Percetakan Grafika dan setelah cetak saya bagikan.

Jadi, kehidupan yang keras dan penuh penderitaan ini sudah Anda rasakan sejak kecil?

Saya sadar sepenuhnya bahwa hidup ini keras. Kita harus tetap iklas dan menjaga iman. Saya buktikan kepada orangtua saya bahwa saya mampu meraih keberhasilan di perantauan. Kisah sejarah hidup saya ini saya ceritakan kepada kedua putri saya. Nah, akhirnya mereka tidak mau menggunakan nama saya di belakang namanya. Selalu disingkat. Yang besar, Andita AP, yaitu Andita Antasari Putri. Yang kedua, Ajeng AP, yaitu Ajeng Antasari Putri. Saya sempat tanya, lho kenapa nama Papa disembunyikan? Mereka bilang nanti orang bilang mentang-menang jadi anaknya Antasari. [I3]